Pemanfaatan Komersial Bangunan Cagar Budaya

- 10 Desember 2020, 06:00 WIB
GEDUNG Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Barat (dulu YPK) di Jalan Naripan Bandung yang sejak tahun 1870 dijadikan tempat perkumpulan orang ERopa Societeit Concordia berkesenian hingga masih tetap berfungsi sebagai tempat berkesenian.
GEDUNG Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Barat (dulu YPK) di Jalan Naripan Bandung yang sejak tahun 1870 dijadikan tempat perkumpulan orang ERopa Societeit Concordia berkesenian hingga masih tetap berfungsi sebagai tempat berkesenian. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

Ketika kita bicara tentang museum, cenderung konotasi kita masih berada pada kondisi bangunan tua yang tidak terurus, kumuh, dengan koleksi apa adanya (tidak update), pengelolaan seadanya, sepi pengunjung, dan kurang menarik untuk dijadikan sebagai objek wisata.

Kondisi ini kadang bertolak belakang dengan konotasi museum di luar negeri, Perancis misalnya yang menjadikan Musse de Louvre sebagai salah satu atraksi utama selain Menara Eiffel, atau Museum Nasional Singapura dan sebagainya yang cenderung menjadi objek wisata unggulan atau bahkan menjadi objek wisata wajib kunjung bagi setiap wisatawan ke negara tersebut.

Baca Juga: Industri Perfilman Indonesia Paska Pandemi

Ketika bangunan cagar budaya dijadikan museum, maka itulah yang terjadi. Bangunan tersebut menjadi sepi, hanya ramai pada saat hari peringatan yang terkait dengan bangunan cagar budaya tersebut, atau memang event yang sengaja diselenggarakan oleh pengelola museum itu sendiri.

Bangunan itu tidak terawat karena dana perawatan minim, kurang menarik karena terkesan angker karena bangunan tua, dan konotasi negatif lainnya. Tetapi hal itu tidak terjadi pada Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) dan Gedung Merdeka yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi Jawa Barat.

Sinergisitas MKAA dengan Sahabat Museum KAA telah menghantarkan 4 penghargaan, yakni Friendly Museum (2014), Fun Museum (2015), Museum Terbaik di Tingkat Kementerian/Lembaga/ BUMN/TNI dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), dan Museum Peduli Bahasa dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (2016).

Baca Juga: Tinjauan Geo-Historis Kaulinan Tradisional Kota Bandung

Sebelum adanya Sahabat Museum KAA, pola komunikasi MKAA adalah tipikal museum di era museum modern. Komunikasi MKAA terhadap masyarakat adalah satu arah. Interpretasi atas nilai koleksi museum menjadi domain MKAA semata. Akibatnya, kemampuan MKAA dalam memajukan bentuk-bentuk pelestarian nilai persahabatan Asia Afrika terbatas.

Kondisi ini sangat berbeda dengan bangunan cagar budaya yang difungsikan selain museum, seperti yang dilakukan para pelaku usaha bisnis di Kota Bandung dan merambah di beberapa kota lain di nusantara.

Pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kota Bandung, cenderung dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai factory outlet, restoran, dan cafe, terasa lebih elegan, apalagi dengan tata lampu (lighting) yang menarik. Solusi pemfataan seperti ini banyak kita dapati sekitar jalan R.E. Martadinata dan Jalan Ir. H. Djuanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Riau dan Jalan Dago.  

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x