Pertunjukan Kini: Antara Bau Kemenyan dan Alkohol

- 8 November 2020, 11:48 WIB
SUASANA diatas panggung salah satu pertunjukan tari topeng di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon beberapa waktu lalu tampak warga ikut berjoged diantara selingan pertunjukan tari topeng.
SUASANA diatas panggung salah satu pertunjukan tari topeng di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon beberapa waktu lalu tampak warga ikut berjoged diantara selingan pertunjukan tari topeng. /Dok. Toto Amsar Suanda/

PORTAL BANDUNG TIMUR-

Menonton topeng Cirebon saat ini (terutama di panggung hajatan) terasa berbeda dengan tiga dasawarsa yang lalu. Pada saat itu topeng masih begitu dekat dengan batin penanggap dan penontonnya.

Oleh karena itu, mempertunjukkan  topeng pada hakikatnya terkait dengan tujuan ngalap (mengharap) berkah bagi penanggapnya, termasuk bagi penontonnya, dan bukan sekedar hiburan semata. Dalang topeng masih dianggap mempunyai karomah dan dianggap sebagai perantara yang dapat mendatangkan berkah-keselamatan.

Kepulan asap kemenyan dari perapen, wanginya semerbak, tercium bau ‘magi’. Sesaji yang tergolek di bagian depan penabuh gong, dan gantungan kebon alas dengan berbagai makanan jajanan pasar, aneka minuman, umbi-umbian, buah-buahan, mainan anak-anak, bekakak, uang beberapa ribu rupiah, dan sebagainya, bergelayut di depan atas bagian panggung, semakin terasa menambah suasana magis.

Baca Juga: Satpol PP Kota Bandung Siap Menghadapi Libur Nataru

Kini, aroma magis itu mulai luntur. Dalang topeng sudah tidak lagi dianggap ‘sakti’. Oleh karena itu pula kita sudah amat jarang menyaksikan adanya orang yang sengaja meminta dimantrai agar suatu keinginannya terkabulkan.

Dulu, jika kebetulan ada anak yang baru lahir dan kebetulan ada pertunjukan topeng, tak jarang orang tua si anak tersebut sengaja datang menemui dalang topeng untuk meminta nama bagi anak atau cucunya. Walaupun tidak hilang sama sekali, namun kini peristiwa tersebut menjadi peristiwa yang amat langka. Jika suatu saat hal tersebut dapat disaksikan lagi, maka siapa pun yang menyaksikannya, ia seolah-olah mendapat sesuatu yang amat berharga: pengalaman mistis.

Tiga dasawarsa yang lalu, pertunjukan topeng masih berada pada alur tradisinya. Walaupun tetap dalam tradisinya yang situasional (antara pakem dan tidak pakem), namun pada umumnya tradisi pertunjukan topeng (nopeng) itu masih dijunjung tinggi.

Baca Juga: Puskesmas Tetap Beroperasi Meski Ada Nakes Terpapar Covid - 19

 Ada atau tidak ada penonton yang menyaksikan, tari topeng Panji sebagai tarian pembuka tetap ditarikan dengan suasana magis dan mistis. Demikian seterusnya, tari topeng Pamindo, Rumyang, sampai dengan Klana yang paling akhir. Bodoran atau lawakan sebagai selingan, baik yang dibawakan dengan celotehan maupun dengan tarian kedok-kedok bodor (Pentul dan Tembem), disajikan dengan tetap mengundang suasana ceria dan tawa. Semuanya terasa mentradisi. Antara serius dan tidak serius berkelindan dalam satu pakem pertunjukan.

Kini, suasana dan peristiwa dalam hajatan itu sudah berlalu. Tari topeng Panji bisa dengan sengaja ditinggalkan atau malah diganti dengan tarian yang disebut dengan tari Serimpi.

Alih-alih, tari topeng Pamindo menjadi yang pertama, yang pemunculannya bukan dalam tradisi pertunjukan topeng yang umumnya berlaku. Padahal, menurut mereka sendiri, Pamindo itu berasal dari kata mindo, artinya yang kedua. Dengan demikian, maka hilanglah makna Pamindo (sebagai yang kedua) itu, karena ia tidak terkait dengan tari sebelumnya, yakni tari topeng Panji.

Baca Juga: Menparekaf Ingatkan Penerapan Prokes Ketat Saat Libur

Selanjutnya, seperti biasa topeng Pamindo dihentikan oleh bodor dan mulailah selingan yang diisi dengan dangdutan. Para pemainnya (tiga atau empat orang) adalah orang di luar grup topeng. Alat musiknya kadang-kadang cukup dengan sebuah organ, dikendangi, dikecreki, dan digongi para nayaga topeng. Para penyanyinya anak-anak muda usia dengan mengenakan pakaian yang sensual.

Menyanyi sambil memanggil-manggil beberapa orang nama (pemangku hajat, pamong desa, dan lain-lainnya). Informasi nama-namanya didapat dari seseorang yang sengaja memberikan catatan nama-nama itu kepada penyanyi.

Seseorang yang dipanggil-panggil namanya biasanya akan memberi uang kepada penyanyi tersebut dengan cara yang bermacam-macam. Ada yang langsung diberikan begitu saja, dan ada pula yang meniru gaya jaban, yakni memberikan uang lembaran satu-persatu seperti dalam seni Bajidoran di daerah Subang atau Karawang.

Baca Juga: La Liga, Real Madrid Tampil Perkasa di Estadio Alfredo Di Stefano

Ketika lagu sudah dinyanyikan, sekelompok anak muda naik ke atas panggung, mereka bergoyang, joged ala orkes dangdut. Bergerak sekehendak hati menuruti irama tabuhan kendang. Di antara mereka ada yang menari bersama penyanyi, ada yang menari bersama temannya, dan ada yang menari sendri.

Tak jarang dari mereka yang matanya teler, setengah mabuk, dan dari mulutnya tercium bau minuman keras (alkohol). Jika di antara mereka ada yang tak kuasa mengendalikan emosinya kala berjoged, tersenggol temannya atau rebutan tempat berjoged, maka tak jarang terjadi suatu keributan, dan akibatnya adalah adu jotos. Mereka turun setelah nyanyian selesai, kembali ke tempat mereka berkumpul, biasanya agak jauh dari arena pentas topeng.

Tari topeng Pamindo yang tadi dihentikan bodor itu kemudian dilanjutkan kembali. Suasana pertunjukan pun berubah. Panggung tak lagi sesak karena yang menari hanyalah seorang dalang. Perhatian menjadi terfokus kepada gerakan-gerakan dalang itu. Akan tetapi, ketika tari itu sudah berjalan beberapa lama, bodor kembali menghentikannya. Ia kemudian kembali memberikan waktu itu kepada grup dangdut. Beberapa lagu dinyanyikan, dan para penjoged kembali ke atas panggung. Demikian seterusnya sampai tari topeng Pamindo selesai.

Baca Juga: Pilkada 2020 Kabupaten Cianjur, Herman Suherman - Tb. Mulyana Syahrudin Menang Telak

Para penjoged tidak saja anak-anak muda, akan tetapi juga orang tua, pria-wanita. Demikian pula pemangku hajat dan panitianya tak ketinggalan ikut berjoged. Tentu saja mereka pun memberi imbalan kepada penyanyi dengan sukarela.

Uang yang didapat penyanyi itu tidak saja hasil dari pemberian para penjoged akan tetapi juga dari para peminta lagu. Uang tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat khusus, dan setelah selesai pertunjukan dihitung. Hasilnya kemudian dibagi: 60% untuk grup penyanyi dangdut, dan 40% untuk grup topeng. Jumlah untuk masing-masing tergantung dari pendapatan. Sebagai salah satu contoh panggungan topeng  grup Adiningrum tanggal 21 Agustus 2008 di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon, terkumpul uang sejumlah  Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Grup dangdut kebagian Rp. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) dan grup topeng Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah). Uang tersebut biasanya dibagi rata sesuai dengan jumlah personal masing-masing grup.

Ketika dangdutan dimulai, dan apabila para peminta lagu serta penjoged banyak, tari topeng bisa tidak ditarikan semuanya. Topeng seperti menjadi tak penting lagi kehadirannya karena pertunjukan akhirnya didominasi dangdutan. Dengan demikian maka tari topeng seperti kehilangan kharismanya dan kehilangan aura mistisnya. Tari topeng hanya ditarikan lagi ketika hari menjelang sore, saat pertunjukan akan selesai. Klana dijadikan tari penutup pertunjukan itu.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Bandung, Hanya Mandalajati dan Bandung Wetan Masih Nilil Kematian

Demikian situasi pertunjukan topeng Cirebon saat ini. Tentu saja situasinya tidak bisa digeneralisasi seperti demikian, karena walaupun beberapa grup topeng menyertakan dangdutan dalam pertunjukannya, namun tetap bisa menyajikan tari-tariannya.

Dangdutan sebaiknya hanyalah sebagai selingan dan bukan dominan. Sebagian dari grup topeng memang ada yang seperti digambarkan di atas. Akan tetapi tentu saja mereka mempunyai alasan tertentu, mengapa melakukan pertunjukan topeng itu seperti demikian. Salah satunya dikemukakan oleh Kasniri dalang topeng asal Kalianyar-Cirebon: “Daripada ora mangan, ya layani mawon.” (Layani saja, daripada tidak makan). Demikian pula dalang topeng Keni dari Slangit beralasan: daripada topeng tidak ada lagi yang nanggap maka warisan leluhur itu akan cepat punah. Suatu alasan yang juga masuk akal.(Toto Amsar Suanda : Pemerhati Seni Budaya Tradisi Jawa Barat)***

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah