Peuyeum Bandung, Dulu Tinggal Menanam Singkong Lalu Dibuat, Sekarang Semua Menggunakan Uang

24 Januari 2021, 10:00 WIB
PENGRAJIN Peuyeum Bandung (tape singkong) tengah menguliti ubi singkong untuk diproses menjadi bahan tape singkong. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Siapa yang tidak mengenal Peuyeum Bandung, atau tape singkong asal Kota Bandung. Saking terkenalnya, seniman yang juga penyiar RRI Bandung yang memiliki suara sangat khas, Sambas Mangundikarta (1926-1999) mencipta lagu ‘Peuyeum Bandung’

Pada masa lalu, untuk mencari peuyeum bandung dan makanan olahan dari peuyeum harus ke stasiun kereta atau terminal angkutan. Kini,  dimana ada pusat jajanan dan pasar besar seperti Pasar Kosambi, Pasar Baru dan pasar lainnya, disanalah penjual Peuyeum Bandung pasti ada dan mudah ditemui.

Bahkan saat ini dimana makanan dengan berbahan campuran peuyeum semakin banyak variasinya. Mulai dari Colenak Murdi yang sudah melegenda, hingga Kue Molen Peuyem dan Bolu Peuyeum yang diproduksi penghasil makanan jajanan khas Kota Bandung.

Baca Juga: Selama 10 Tahun Penduduk Indonesia Bertambah 32,56 Juta Jiwa

Tapi siapa yang tahu asal muasal daerah penghasil Peuyeum Bandung? Jarang sekali orang mengetahuinya, seperti halnya keberadaan Ubi Cilembu, Kecap Majalengka, Beras Majasetra dan lainnya.

“Sudah menjadi sifat manusia, asal tahu enak sudah cukup. Sementara kami disini yang sudah hampir enam generasi memproduksi peuyeum sampeu (tape singkong) kurang dilirik oleh penyuka makanan peuyeum maupun pemerintah. Anehnya orang India, Singapura hingga Australia datang kesini karena ingin tahu proses pembuatannya,” ujar Iyus Rusmana (48) generasi kelima pengrajin peuyeum di Kampung Cipaheut, Desa/Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Berdasarkan cerita turun temurun kakek buyutnya, yang diceritakan (alm) Abah Dasom kepada kedua Yoyo ayah Iyus, Cimenyan menjadi daerah pengrajin peuyeum sejak masyarakat Bandung diperkenalkan pada tanaman singkong. Singkong yang ditanam masyarakat disepanjang kawasan perbukitan Bandung Utara, mulai dari Cimenyan hingga Manglayang, diperuntukan memenuhi kebutuhan tepung tapioka untuk roti makanan orang Belanda.

Baca Juga: Alasan DPU dan Satgas Citarum Harum Tanam Vetiver di Sungai Cipamokolan

“Disaat panen singkong berlimpah masyarakat banyak yang menjadikan singkong untuk berbagai makanan. Makanan yang paling awet saat itu dan dapat dimakan kapan saja menurut kakek saya (Abah Dasom) adalah kiripik, gendar, kicimpring dan peuyeum,” terang Iyus.

Pada masa lalu, untuk memenuhi pesanan peuyeum sampeu dilakukan langsung dikebun karena tidak ada waktu membawa bahan-bahan ke rumah. Bahan singkong yang digunakan sejak dulu hingga kini berupa singkong mentega.

Singkong yang sudah dipanen langsung dikuliti dibuang kulit luarnya, lalu dibersihkan hingga benar-benar terlihat putih. Setelah bersih di godog hingga terlihat menguning dan lalu ditiriskan di atas sasag (dipan bambu), dan dilumuri ragi, untuk kemudian dipendam didalam tanah hingga benar-benar masak.

“Kini proses tersebut sudah ditinggalkan, membuat peuyeum sekarang dilakukan di rumah. Hanya saja bedanya saat ini semua menggunakan uang, mulai dari ngolah kebun, nanam pohon (singkong) memanen, membawa hasil panen, memproses hingga jadi peuyeum harus pakai uang,” ujar Iyus.

Baca Juga: Harga Sapi dan Domba Melonjak, Saatnya Pemerintah Membantu Peternak Bukan Pengusaha Ternak

Setiap hari Iyus bersama istri dan dibantu dua anaknya, hanya mampu membuat peuyeum sampeu sebanyak 2 hingga 5 kwintal dengan harga singkong Rp2.000 perkilogram bahkan hingga Rp5.000 kalau sedang langka seperti sekarang ini. Sedangkan bila memasuki libur akhir pekan atau libur nasional bisa mencapai 7 hingga 9 kwintal.

Hasil kerja dari pukul 6.00 WIB hingga 17.00 WIB menjelang magrib dibawa ke pedagang di Pasar Gedebage, Kosambi, Pasar Baru, Cihampeulas,  Riau dan lainnya. Seperti bait akhir lagu karya Sambas Mangundikarta, harga peuyeum Bandung tidak mahal terbeli oleh orang tua maupun anak-anak.  Pangaosna teu luhur...Ku sadaya kagaleuh...Sepuh jeung murangkalih  (heriyanto)*** 

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler