Residu, Keterpaksaan Jadi Kaum Urban

1 November 2020, 13:35 WIB
SALAH satu adegan tari ‘Residu’ karya kreator Alfiyanto WaJiWa yang menggambarkan keterpaksaan warga Kampung Ciganitiri Bojongsoang Kabupaten Bandung yang dipaksa menjadi bagian kaum urban akibat kampung halaman mereka berubah menjadi kawasan perumahan.*** /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Tubuh selalu bergerak dan mencari tanpa henti adalah tubuh yang dinamis. Menelusuri ruang-ruang nadi dalam kehidupan, karena tubuh itu sendiri adalah tubuh sosial, hidup, berfikir, merasakan, mencerna, dan melakukan aksi nyata.

Konsepsi akan tubuh tersebut dituangkan kreator tari Alfiyanto Wajiwa bertajuk “Residu”. Dibawakan sejumlah ibu dan anak-anak, bertempat di Rumah Kreatif Wajiwa dikawasan Ciganitri, Kel. Cipagalo, Kec. Bojongsoang, Kab.Bandung.

“Residu” berisikan tentang kegelisahan kaum ibu dan anak-anak akan kondisi lingkungan kampung mereka yang terus tergerus bangunan perumahan. Kampung Ciganitri yang semula terkenal sebagai daerah pesawahan penghasil beras kelas satu dan kolam pembibitan ikan untuk peternak ikan seluruh Jawa Barat, kini sudah disulap developer jadi kawasan perumahan.

Baca Juga: Fitur NFC Tawarkan Kemudahan

Kini, ditengah terus berkembangnya perumahan, masyarakat seakan dihinggapi kegamangan akan tanah kelahirannya. Mereka merasa menumpang dikampungnya sendiri karena tanah atau kampungnya telah dikuasai oleh orang-orang berduit .

Orang tua, kaum ibu dan bapak tidak lagi bekerja di tanah pesawahan ataupun kolam ikan. Keseharian yang hilang tersebut kini telah tergantikan dengan kesibukan berpacu dengan waktu tanpa kepastian hasil yang diperoleh, dengan menjadi tukang ojek, berdagang, kuli bangunan, serabutan,  dan lain-lain.

Demikian pula dengan anak-anak penduduk asli yang kini mendapat julukan “masyarakat kampung” dan “anak kampung” oleh warga perumahan, tidak lagi bermain sebebas dulu. Sudah tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk bermain layangan, berlari-larian dipematang sawah, bermain bola di lapangan rumput yang hijau alami, mengejar kupu-kupu, dan lain-lain.

Baca Juga: Legenda Three Lions, Nobby Stiles Meninggal Dunia

Sebagian dari mereka yang mulai menyadari akan perubahan ruang dan waktu dilingkungannya, mereka berpikir akan kampungnya yang hilang. Mereka tidak mau terbawa arus dan mereka harus melawan arus untuk meraih kehidupan yang lebih layak, dan agar meraka tidak lagi diusir saat mengintip dari balik pagar jeruji besi melihat anak-anak komplek perumahan bermain dengan barang-barang mahal yang tidak mereka miliki.

Sekelompok anak kecil berlarian kian kemari dan membetuk tarian terkadang gerakannya seirama dengan kaum ibu maupun tarian yang dibawakan anak muda. Suara petikan jentreng (kecapi) dan gesekan ngek-ngek (tarawangsa) yang terdengar sangat monoton, seakan memperkuat semua ungkapan kegelisahan yang tengah dibawakan dalam bahasa tubuh.

Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, kemampuan Alfiyanto Wajiwa atau yang akrab disapa Uda Anto, adalah menterjemahkan kondisi masyarakat disekitar sanggarnya yang tengah mengalami kegelisahan. Mereka datang ke sanggar seninya dengan berbagai cerita ditampung dan dikembalikan lagi kepada mereka sudah dalam bentuk tarian.

Baca Juga: Meninggal Dunia, Aktor James Bond Sir Sean Connery

Ditengah masa pandemi corona yang belum ada kepastian kapan akan berakhir, Uda Anto mencoba memberikan harapan. Sebuah harapan bahwa perubahan yang terjadi akan lingkungan sekitarnya, bukan berarti akan menciptakan kepunahan, namun justru menuntut aktivitas dan dinamisasi yang baru. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler