Mata Air Irung-irung Hanya Sekali Tidak Berair

- 16 Oktober 2020, 08:43 WIB
TRADISI Babakti Nyalametkeun Irung-irung masyarakat Desa Cihideung Kec. Parongpong Kab. Bandung Barat, tahun ini hanya diisi doa bersama di sekitar mata air (irung-irung) yang sudah berubah menjadi objek wisata Lembang Park & Zoo.***
TRADISI Babakti Nyalametkeun Irung-irung masyarakat Desa Cihideung Kec. Parongpong Kab. Bandung Barat, tahun ini hanya diisi doa bersama di sekitar mata air (irung-irung) yang sudah berubah menjadi objek wisata Lembang Park & Zoo.*** /Heriyanto Retno

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Tradisi Babakti Nyalametkeun Irung-irung  masyarakat Desa Cihideung, Kec. Parongpong, Kab. Bandung Barat, tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Lahan tempat dua mata air kini sudah menjadi destinasi wisata favorit di Kab. Bandung Barat.

“Tradisi (Babakti Nyalametkeun Irung-irung) ini sudah dilakukan para kakek buyut warga Cihideung ratusan tahun lalu. Tradisi kami lakukan karena memang manfaatnya sangat besar bagi kehidupan masyarakat Cihideng dan sekitarnya yang sangat tergantung dengan keberadaan mata air Irung-irung dan sungai Cibeureum, seperti masa musim kemarau ini, Alhamdulillah tidak kekurangan air dan kewajiban kami untuk memelihara mata air Irung-irung,” ujar Bah Yanto Susanto, tokoh masyarakat Cihideung yang menginisiasi kegiatan Tradisi Babakti Kamis dan Jumat 15-16 Oktober 2020.

Bau belerang dari Gunung Tangkuban Perahu terbawa angin pagi, sesekali tercium sekitar Irung-irung di Kampung Kancah, Ds. Cihideung Kec. Parongpong, Bandung Barat. Terkadang bau belerang bergantian dengan bau kotoran sapi yang datang dari perbukitan diatas mata air sungai Cibeureum yang oleh masyarakat disebut Irung-irung (karena posisi mata air keluar dari dua lubang).

Baca Juga: Hari Pangan Sedunia 2020, ‘Tanam, Pelihara, Lestarikan Bersama’

“Bau belerang seperti ini keluar dari kawah Ratu dan kawah Domas yang terbawa angin. Mungkin bau belerang lebih terasa saat Tangkuban Parahu meletus tahun 1829, dimana kawah Ratu dan Domas meletus secara berbarengan mengakibatkan banyak sumber air tertimbun longsoran pasir dan bebatuan, termasuk Irung-irung tertutup dan tidak ada airnya sama sekali,” terang Bah Yanto.

Salah seorang sesepuh Desa Cihideung , Abah Idi (69), dari cerita kakek neneknya saat sebelum terjadi letusan gunung Tangkuban Perahu tahun 1829, lubang mata air (Irung-irung) sangat besar. Saking besarnya, kerbau yang akan dimandikan bisa terperosok masuk kedalamnya.

Diceritakannya, setelahletusan tahun 1829, gunung Tangkuban Perahu hampir secara rutin meletus setiap 10 tahun sekali. Karena letusan tersebut membuat air Irung-irung selain panas juga mengeluarkan bau belerang, dan lumut. Belakangan, sejak meletus tahun 1970 air Irung irung menjadi hangat dan hanya sesekali mengeluarkan bau belerang.

Baca Juga: Di Bandung Ada Wayang Cepak?

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x