PORTALBANDUNGTIMUR -
“Sandiwara tradisional jaman kiwari mah ibarat papatah ‘hirup teu neut, paeh teu hos. Disebut hirup geus jarang manggung, disebut maot da masih aya hiji dua anu manggungkeun.”(Sandiwara Sunda jaman sekarang ini ibarat pepatah Sunda, hidup tidak matipun tidak. Disebut hidup sudah jarang manggung, disebut mati masih ada yang suka manggung).
Demikian diungkapkan tokoh seni panggung sandiwara tradisional Sunda, E. Samsudin yang akrab disapa Wa Kabul, terkait kondisi kekinian keseniang tradisional yang digelutinya sejak puluhan tahun, saat ditemui di Gedung Kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang Kosambi Bandung, Selasa 13 Oktober 2020.
Memang bukan cerita yang dikarang oleh Wa Kabul yang hingga kini bertahan di seni tradisi bersama sanggar Sandiwara Sunda Ringkang Gumiwangnya. Dari sekitar 64 grup sandiwara tradisional Sunda di Kota Bandung dan sekitarnya, kini tinggal grup Ringkang Gumiwang yang dipimpinnya dan Epita yang dipimpin Yayat.
Baca Juga: DPU Kota Bandung Normalisasi Sungai Cisaranten Lama
Meski sejak awal ketepurukan seni tradisional Sandiwara Sunda adalah pemerintah, Wa Kabul sepenuhnya tidak mau menyalahkan pemerintah dengan segala wewenang dan kebijakannya.
“Saat sandiwara sunda tengah jaya-jayanya di Tegallega dan Kosambi, oleh pemerintah diburak barik (dibubarkan) dengan alasan pembangunan dan lainnya, hingga para seniman ditahun 1970an hingga 1980an hanya diberi kesempatan manggung di YPK dan Rumentangsiang,” kenang Wa Kabul.
Di era TVRI akhir tahun 1970an hingga pertengahan 1980an yang menampilkan Srimulat dengan Ketopraknya, dari Jawa Barat juga diberikan kesempatan untuk tampil rutin dengan Sandiwara Sunda. “Karena banyak manggung di Jakarta banyak seniman yang hijrah ke Jakarta dan tidak lagi pulang, mereka lebih banyak bergabung dengan Miss Tjitjih dan hanya saya yang kembali pulang,” ujar Wa Kabul.
Baca Juga: PAI Bandung Rutin Selamatkan Species Anggrek Asli Jabar