Jawa Barat Kaya Bangunan Cagar Budaya

5 Desember 2020, 10:00 WIB
GEDUNG Sate yang didirikan tahun 1920 merupakan salah satu bangunan monumental dan langka karena memiliki langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Beberapa kota di Indonesia terutama di Jawa Barat seperti Bandung, Cirebon, dan Bogor memiliki banyak bangunan-bangunan kuno tinggalan terutama dari masa kolonial Hindia Belanda.  

Hal ini tidak lepas dari bentang sejarah dari kota bersangkutan, yaitu seberapa pentingkah bila dikaitkan dengan kepentingan pihak Hindia Belanda terhadap kota tersebut. Semakin pihak Hindia Belnda menaruh harapan yang besar terhadap suatu kota, kemungkinan besar kota tersebut banyak menyimpan bangunan kuno masa kolonial Hindia Belanda.

Oleh karena itu tidak asing lagi bila kita melewati Kawasan Kota Tua atau Kawsan Heritage di Kota Bandung, Cirebon ataupun Bogor, maka kita akan mendapati banyak gedung tua baik peninggalan kolonial Hindia Belanda, maupun setelahnya yang masuk dalam katagori Bangunan Cagar Budaya.

Baca Juga: Payung Hukum Perlindungan Konsumen pada E-Commerce atau Perdagangan Online

Sebuah konsekwensi dari adanya urban sprawl di mana kawasan kota yang awal diabangun alias kota tua atau Heritage City, kemudian sedikit demi sedikit berkembangn ke daerah sekitarnya dikarenakan daya tampung yang semakin terbatas dan tidak dapat mengakomodir penduduk yang tinggal di dalamnya. Selain itu memang pembangunan sebuah kota yang tidak bisa kita hindari adalah kebutuhan ruang.

Akhirnya, bagian kota tua itu lambat laun akan ditinggalkan, dan sebagian akibatnya terjadi konvensi penggunaan ruang dari yang sebelumnya adalah residensial yang menuntut untuk dijadikan sebagai kawasan komersial. Kawasan itu contohnya Kawasan Tua di Bandung, di Jakarta, di Semarang, di Yogyakarta, di Cirebon dan sebagainya.

Peninggalan-peninggalan dari masa Kolonial Hindia Belanda itu masuk dalam katagori cagar budaya atau dikenal dengan Bangunan Cagar Budaya. Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. (UU No. 11 Tahun 20110, Pasal 1 ayat 1).

Baca Juga: Ketentuan Hukum Pidana untuk Perselingkuhan

Sebagai salah satu contoh bangunan-bangunan cagar budaya yang memiliki ciri khas dan layak menjadi cagar budaya Provinsi Jawa Barat dan Cagar Budaya Tingkat Nasional, yaitu:

Gedung Merdeka, dibangun tahun 1895 atas prakarsa para pegusaha Belanda pemilik kebun teh di sekitar Bandung dan para opsir Belanda. Gaya arsitektur Modernism dengan sentuhan Art Deco.

Gedung ini memiliki nilai sejarah dan yang cukup tinggi, pernah dipergunakan sebagai tempat berlangsungnyaa kegiatan internasional yaitu Konperensi Asia Afrika (KAA), 18-24 April 1955. Hasil penyelenggaraan KAA, adalah Dasasila Bandung dan Gerakan Non Blok yang memberikan semangat bagi negara-negara di Asia-Afrika untuk menjadi negara merdeka.

Baca Juga: Industri Perfilman Indonesia Paska Pandemi

Gedung Sate, gedung ini berada dalam suatu kawasan bangunan kuno dari masa Kolonial Hindia Belanda dan bersejarah, Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops. Langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental.

Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan unik. Bentuk bangunan ini menjadi unik bentuknya sebagai perpaduan gaya arsitektur timur dan barat.

Gaya seni bangunan yang memadukan langgam arsitektur tradisional Indonesia dengan kemahiran teknik konstruksi barat disebut Indo-Eropeesche architectuur Stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). Pada puncak Gedung Sate terdapat enam tusuk sate yang menyimbulkan enam juta Gulden yang dihabiskan sebagai biaya pembangunannya.

Baca Juga: Tinjauan Geo-Historis Kaulinan Tradisional Kota Bandung

Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap GunungTangkuban Perahu di sebelah utara.

Kelanggkaan arsitektur dan nilai sejarah dan budaya bangunan cukup tinggi

Gedung Sate pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berfungsi sebagai kantor Pemerintahan Hindia Belanda dan kini, dipergunakan sebagai Kantor Pusat Pemerintahan Jawa Barat. Gedung ini dapat dikatakan sebagai Landmark Kota Bandung

Keraton Kasepuhan, Cirebon, didirikan oleh Pangeran Cakrabuana pada masa perkembangan Islam atau sekitar tahun 1529. Pada awal dibangunnya Keraton Kasepuhan merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati yang merupakan keraton tertua di Cirebon.

Baca Juga: Video Porno; Nyandu, Iseng atau Gejala Kejiwaan?

Keraton Pakungwati yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan, dibangun oleh Pangeran Cakrabuana (Putera Raja Pajajaran) pada tahun 1452. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton.

Arsitektur dan Bangunan Bersejarah di Keraton Kasepuhan Cirebon adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah.

Memasuki bangunan inti Keraton Kasepuhan ditandai dengan Taman Bunderan Dewandaru. Bangunan Induk Keraton mulai dibangun sejak 1678 Sultan Sepuh I, Bangunan Induk Keraton ini merupakan tempat aktifitas Sultan. Sultan Gunung Jati adalah tokoh Pendiri Kesulatanan Cirebon dan Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa dan Nusantara.

Baca Juga: Analisis Hukum Mengenai Pembunuhan Manusia

Kita tidak bisa menyangkal beragam kepemilikan atas bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di berbagai kota kuno tersebut. Kepemilikan bangunan cagar budaya tidak lepas dari awal dibangunnya bangunan tersebut.

Ada yang awal kepemilikannya oleh Perusahaan Dagang Hindia Belanda seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), terus mengalami nasionalisasi. Selanjutnya ada kepemilikan oleh Pemerintah. Biasanya bangunan yang dimiliki oleh Pmerintah, berasal dari warisan Pemerintah Orde Hindia Belanda, atau milik pribadi yang kemudian dihibahkan kepada negara.

Kepemilikan  ini sedikit banyak terkait dengan pemanfaatan dari bangunan cagar budaya tersebut. Untuk kepemilikan secara pribadi biasanya masih berupa tempat tinggal atau tempat usaha seperti terlihat di Kota Bandung, yaitu sekitar Jalan R.E. Martadinata (Jalan Riau) dan Jalan Ir. H. Djuanda (Jalan Dago).  Daerah ini pada masa Hindia Belanda cenderung diperuntukan pegawai pemerintahan dan dimiliki secara pribadi.

Baca Juga: Analisis Hukum Dibalik Sebuah Video Porno Pribadi

Sedangkan yang dimiliki oleh perusahaan, biasanya masih menjadi kantor cabang dari perusahaan yang bersangkutan seperti kita dapatkan pada beberapa bangunan cagar budaya di Pengalengan, Padalarang, Subang dan sebagainya, yang menjadi kantor BUMN. (bersambung)...

Eddy Sunarto (Purnabakti Kepala Museum Sri Baduga Jawa Barat dan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Barat, Anggota IAAI Komda Jabar-Banten, dan Pengurus AMIDA Jabar)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler