Pemanfaatan Komersial Bangunan Cagar Budaya

10 Desember 2020, 06:00 WIB
GEDUNG Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Barat (dulu YPK) di Jalan Naripan Bandung yang sejak tahun 1870 dijadikan tempat perkumpulan orang ERopa Societeit Concordia berkesenian hingga masih tetap berfungsi sebagai tempat berkesenian. /Portal Bandung Timur/Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Pada tulisan kedua ini penulis mencoba memaparkan tentang, pemanfaatan gedung-gedung bernilai cagar budaya di kota-kota besar di Jawa Barat. Khususnya di Kota Bandung ini.

Salah satu contoh pemanfaatan bangunan cagar budaya yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat adalah pemanfaatan kawasan-kawasan cagar budaya sebagai Kawasan Pariwisata, seperti Teropong Bintang Bosscha Lembang, Kawasan Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika Bandung.

Dengan demikian masyarakat sekitar  kawasan akan memiliki peluang untuk menjalankan usahanya, misalnya dalam bidang perhotelan, restoran, atau tempat-tempat usaha lainnya yang berkaitan dengan pariwisata. Pemanfaatan kawasan bangunan cagar budaya sebagai kawasan usaha dan perkantoran dapat juga dilakukan, karena dengan demikian kawasan tersebut menjadi kawasan yang hidup dan tetap dapat diharapkan menjadi pemicu pengembangan kawasan.

Baca Juga: Jawa Barat Kaya Bangunan Cagar Budaya

Pemanfataan suatu kawasan cagar budaya sebagai kawasan wisata, harus dilakukan dengan hati-hati karena banyak pihak pengembang yang tidak mengetahui atau belum memahami rambu-rambu yang ada pada kawasan tersebut, selain itu juga aturan-aturan dan prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya yang telah digariskan dalan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) cenderung hanya menghitung pendapatan daerah, tidak mengantisipasi adanya perusakan yang terjadi pada bangunan ataupun pada suatu kawasan cagar budaya itu sendiri. Akibatnya acapkali eksploitasi lahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan konsep-konsep pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya. Untuk itu pada setiap pengembangan kawasan cagar budaya sebagai kawasan wisata harus dilakukan kajian terlebih dahulu.

Untuk bangunan cagar budaya yang kepemilikannya berada di tangan pemerintahan seperti biasanya menjadi kantor pemerintahan  seperti yang terlihat pada Gedung Sate, Gedung Dwi Warna, Gedung Merdeka yang ada di Bandung, Gedung Balai Kota Cirebon, Gedung BKPP Wilayah Bogor dan sebagainya.

Baca Juga: Payung Hukum Perlindungan Konsumen pada E-Commerce atau Perdagangan Online

Akan tetapi banyak bangunan-bangunan tersebut sekarang dimanfaatkan sebagai museum. Bahkan Gedung Sate pun tengah dirintis untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai Museum Gedung Sate.

Ketika kita bicara tentang museum, cenderung konotasi kita masih berada pada kondisi bangunan tua yang tidak terurus, kumuh, dengan koleksi apa adanya (tidak update), pengelolaan seadanya, sepi pengunjung, dan kurang menarik untuk dijadikan sebagai objek wisata.

Kondisi ini kadang bertolak belakang dengan konotasi museum di luar negeri, Perancis misalnya yang menjadikan Musse de Louvre sebagai salah satu atraksi utama selain Menara Eiffel, atau Museum Nasional Singapura dan sebagainya yang cenderung menjadi objek wisata unggulan atau bahkan menjadi objek wisata wajib kunjung bagi setiap wisatawan ke negara tersebut.

Baca Juga: Industri Perfilman Indonesia Paska Pandemi

Ketika bangunan cagar budaya dijadikan museum, maka itulah yang terjadi. Bangunan tersebut menjadi sepi, hanya ramai pada saat hari peringatan yang terkait dengan bangunan cagar budaya tersebut, atau memang event yang sengaja diselenggarakan oleh pengelola museum itu sendiri.

Bangunan itu tidak terawat karena dana perawatan minim, kurang menarik karena terkesan angker karena bangunan tua, dan konotasi negatif lainnya. Tetapi hal itu tidak terjadi pada Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) dan Gedung Merdeka yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi Jawa Barat.

Sinergisitas MKAA dengan Sahabat Museum KAA telah menghantarkan 4 penghargaan, yakni Friendly Museum (2014), Fun Museum (2015), Museum Terbaik di Tingkat Kementerian/Lembaga/ BUMN/TNI dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), dan Museum Peduli Bahasa dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat (2016).

Baca Juga: Tinjauan Geo-Historis Kaulinan Tradisional Kota Bandung

Sebelum adanya Sahabat Museum KAA, pola komunikasi MKAA adalah tipikal museum di era museum modern. Komunikasi MKAA terhadap masyarakat adalah satu arah. Interpretasi atas nilai koleksi museum menjadi domain MKAA semata. Akibatnya, kemampuan MKAA dalam memajukan bentuk-bentuk pelestarian nilai persahabatan Asia Afrika terbatas.

Kondisi ini sangat berbeda dengan bangunan cagar budaya yang difungsikan selain museum, seperti yang dilakukan para pelaku usaha bisnis di Kota Bandung dan merambah di beberapa kota lain di nusantara.

Pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kota Bandung, cenderung dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai factory outlet, restoran, dan cafe, terasa lebih elegan, apalagi dengan tata lampu (lighting) yang menarik. Solusi pemfataan seperti ini banyak kita dapati sekitar jalan R.E. Martadinata dan Jalan Ir. H. Djuanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Riau dan Jalan Dago.  

Baca Juga: Video Porno; Nyandu, Iseng atau Gejala Kejiwaan?

Pada hal kalau kita mau jujur melihat bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Bandung dan beberapa kota lainnya, memiliki keunggulan. Yang pertama adalah lokasinya yang prime, mudah diakses dari beragai penjuru, lokasi incaran para developer untuk menjalankan bisnisnya. Keunggulan kedua, memiliki halaman yang luas, dengan banyak ruangan. Keunggulan ketiga area parkir yang cukup luas.

Memperhatikan keunggulan yang dimiliki bangunan cagar budaya tersebut di atas, ada baiknya kita atau seluruh  pihak yang berkepentingan mulai dipikirkan meng-hybrid-kan pemanfaatan bangunan cagar budaya yang digunakan sebagai museum, yaitu bangunan tersebut jangan hanya difungsikan sebagai gedung museum semata.

Keuntungan yang didapat dari meng-hybrid-kan pemanfaatan bangunan cagar budaya yang digunakan sebagai museum ini antara lain dapat menarik lebih banyak orang untuk datang ke museum tersebut dan belajar tentang berbagai hal sesuai dengan tujuan awal museum didirikan. Salah satu contoh, adalah:

Baca Juga: Sérén Taun, Penghormatan Terhadap Padi

Working at the museum, menjadikan museum sebagai office

Meeting at the museum, menjadikan museum sebagai temat rapat atau pertemuan.

Recreation at the museum, menjadikan museum sebagai tempat rekreasi.

 

Pelibatan Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam pelestarian bangunan cagar budaya dan kawasan cagar budaya tidak akan terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses panjang. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pelibatan masyarakat dalam proses pelestarian. Salah satunya adalah Pemerintah setempat melibatkan masyarakat terkait dalam forum diskusi atau sosialisasi, untuk mengetahui tingkat apresiasi.

Baca Juga: Seren Taun, Air Sumber Kehidupan

Perhitungan ekonomi adalah masalah utama yang sering muncul dalam diskusi-diskusi yang melibatkan masyarakat, yaitu benefit apa yang akan diterima oleh masyarakat apabila mereka melakukan pelestarian bangunan cagar budaya yang dikelolanya. Masyarakat juga menginginkan adanya insentif dari pemerintah, apabila mereka telah melakukan pelestarian terhadap bangunan cagar budaya.

Beberapa kota telah menerapkan insentif tersebut berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan. Selain itu masyarakat menginginkan adanya keleluasaan bagi mereka untuk tetap dapat mengembangkan bangunan cagar budaya yang dimilikinya, dan adanya pendampingan apabila akan melakukan pembangunan bangunan cagar budaya yang dikelolanya.

Tidak semua masyarakat yang disebutkan di atas akan serta merta aktif mendukung pelestarian. Ada kelompok masyarakat yang aktif mendukung, pasif, atau bahkan menolak pelestarian. Keaktifan atau penolakan  masyarakat biasanya tergantung dari keaktifan dari Pemerintah melakukan sosialisasi kepada mereka, serta tingkat kemampuan dan wawasan masyarakat tersebut terhadap pelestarian.

Baca Juga: Nasib Seni Budaya Tradisional Jawa Barat Sulit Bergeming

Di beberapa kasus yang terjadi pada pemanfaatan bangunan cagar budaya, terutama pada bangunan living monument, masyarakat yang tertarik untuk mengembangkannya, akan mundur, ketika mengetahui bahwa bangunan tersebut adalah bangunan cagar budaya. Hal ini menandakan bahwa wawasan dan pengetahuan mereka terhadap pelestarian masih minim.

Namun demikian ada anggota masyarakat yang mau melakukan pelestarian pada bangunan cagar budaya yang dikelolanya, dengan mau melestarikan tersebut biasanya sangat paham bahwa bangunan yang dikelolanya atau yang akan dikelolanya memiliki nilai sejarah yang penting dan akan menjadi bangunan yang menarik dan unik. Hal ini akan menjadi nilai tambah bila dikembangkan adan dimanfaatkan.

Keberhasilan pelibatan masyarakat di dalam pelestarian bangunan cagar budaya sangat tergantung pada hubungan yang terjalin antara Pemerintah dengan masyarakat. Bagaimana masyarakat merespon peluang yang dimiliki oleh cagar budaya tersebut, dan bagaimana cagar budaya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa hal dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah:

Baca Juga: Bandung Nomor Wahid Termacet di Nusantara, Ini Yang Harus Dilakukan

1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi, meliputi menentukan keunikan cagar budaya yang dimaksud, kandungan nilai sejarah dan mengidentifikasi bagian-bagian yang perlu diperbaiki.

2. Memberikan pendampingan dan konsultasi kepada masyarakat yang akan mengembangakan cagar budaya sebagai kawasan wisata atau fungsi usaha lain yang tentunya tidak menyalahi upaya pelestarian.

3. Merencanakan program pengembangan bagi kawasan cagar budaya yang memiliki potensi wisata dan potensi bisnis, sehingga pengawasan juga dapat dilakukan dengan baik.

4.  Memfasilitasi masyarakat yang akan menggunakan bangunan atau kawasan bangunan cagar budaya sebagai tempat usaha,

5. Melakukan sosialisasi tentang undang-undang atau peraturan tentang cagar budaya,

6. Memperbaiki infrastruktur di kawasan bangunan cagar budaya tersebut. (tamat)

Baca Juga: Topeng Panji; Dialog Selendang dan Pinggang

 

Eddy Sunarto (Purnabakti Kepala Museum Sri Baduga Jawa Barat dan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Barat, Anggota IAAI Komda Jabar-Banten, dan Pengurus AMIDA Jabar)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler