Marak Konsolidasi Perbankan : Dinamika Regulasi atau Strategi Bisnis?

6 Januari 2021, 14:25 WIB
Fenomenal penggabungan tiga Bank Umum Syariah milik Bank BUMN, /Pixabay/Cegoh

PORTAL BANDUNG TIMUR - Tahun 2020, tidak hanya menjadi tahun pandemi covid-19, tapi juga tahun dimana konsolidasi perbankan berjalan dengan sangat marak.

Beberapa diantaranya, proses integrasi Bangkok Bank ke Bank Permata, penggabungan Bank Interim (Ex Rabobank) ke BCA Syariah, akusisi sebagian saham Bank Jago oleh Gojek.

Hingga yang paling besar dan fenomenal penggabungan antara 3 (tiga) Bank Umum Syariah milik Bank BUMN, yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank Negara Indonesia Syariah dan Bank Rakyat Indonesia Syariah yang diperkirakan selesai sekitar awal 2021.

Baca Juga: Penerapan Protokol Kesehatan Bali Peringkat Tertinggi di Indonesia

Dinamika Regulasi

Dari perspektif regulasi, proses konsolidasi perbankan merupakan upaya untuk menciptakan struktur industri yang kuat dan berdaya saing.

Selain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional juga mampu bersaing dalam lingkup regional dan global.

Sejatinya, regulator telah lama mendorong proses konsolidasi perbankan. Pada tahun 2004, Bank Indonesia menyusun program Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yang sangat kental membawa misi konsolidasi perbankan.

Baca Juga: Dinkes Kota Palembang Siapkan 205 Vaksinator

Saat itu, BI mengharapkan struktur perbankan domestik didominasi bank dengan komitmen dan kemampuan intermediasi yang tinggi agar secara optimal berperan dalam proses pembangunan nasional.

Kemudian pada tahun 2006, sebagai salah satu bentuk implementasi API, BI menerbitkan kebijakan single presence policy yang bertujuan untuk membatasi suatu pihak hanya bisa menjadi pengendali di satu Bank.

Selanjutnya, pada tahun 2012 dikeluarkan pula PBI mengenai Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (PBI Multilicensing) yang mengelompokkan Bank ke dalam 4 (empat) kategori dan mengatur jenis kegiatan, produk dan aktivitas yang dapat dilakukan bank dalam tiap kategori tersebut.

Baca Juga: Miliarder China Jack Ma Menghilang

Upaya regulator dalam mendorong konsolidasi perbankan terus berjalan hingga saat ini. Pasca kewenangan pengawasan mikroprudensial perbankan beralih dari BI ke OJK, stance untuk mendorong konsolidasi tetap menjadi concern OJK dimana telah diterbitkan POJK No.12/POJK.03 Tahun 2020 tentang konsolidasi perbankan yang secara umum mewajibkan bank untuk memiliki modal inti paling kurang Rp 3 Trilyun Rupiah sebelum 31 Desember 2022. 

Konsekuensinya, seluruh Bank BUKU 1 dan sebagian Bank BUKU 2 perlu melakukan penambahan modal baik melalui skema penggabungan, peleburan ataupun menginduk kepada kelompok usaha yang lebih besar, mengingat penambahan modal secara organik melalui pemupukan modal tentu membutuhkan waktu dan tidak mudah. 

Kewenangan regulator dalam mendorong konsolidasi perbankan juga diperkuat oleh Perppu No.1 Tahun 2020 yang telah diundangkan menjadi UU No.2 Tahun 2020 dimana OJK diberi perluasan kewenangan untuk dapat memberi perintah secara tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan konsolidasi.

Baca Juga: Purwakarta Tangguhkan Rencana KBM Tatap Muka

Meski penambahan kewenangan ini lebih bertujuan untuk memberikan payung hukum untuk mendukung pelaksanaan kewenangan OJK sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem keuangan (KSSK) dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, namun hal ini sejalan dan memperkuat arah strategis konsolidasi perbankan dari OJK yang masih tetap mendorong konsolidasi perbankan.

Strategi Bisnis

Selain dinamika regulasi, tampaknya strategi bisnis juga menjadi pertimbangan utama yang mendorong proses konsolidasi perbankan. Hal ini terlihat bahwa tidak semua bank yang melakukan konsolidasi merupakan bank yang bermodal minim yang membutuhkan penguatan permodalan.

Selain itu, kesepakatan dan rencana konsolidasi pada beberapa bank telah dilakukan sebelum Perppu Pandemi dan POJK konsolidasi perbankan terkait kewajiban pemenuhan modal inti tersebut diterbitkan. 

Baca Juga: Sampah Plastik Terbawa Gelombang Penuhi Objek Pantai di Bali

Konsolidasi perbankan juga didorong oleh motif transformasi bisnis digital. Hal ini sebagaimana terlihat dari akuisisi 22,16 persen saham Bank Jago oleh Gojek. Sebagaimana dikutip berbagai sumber, akuisisi ini mendorong kolaborasi antara penyedia ekosistem digital dengan bank sehingga dapat menawarkan inovasi dalam menawarkan layanan keuangan.

Terlebih bank jago merupakan bank berbasis teknologi yang dirancang dengan sistem Open Application Programming Interface yang memungkinkan untuk bekerjasama dengan penyedia ekosistem digital.

Khusus terkait konsolidasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) bank Syariah milik BUMN juga lebih sarat didasarkan pada aspek bisnis. Pasalnya penggabungan tersebut bertujuan untuk memperluas cakupan pasar dari Bank Syariah.

Baca Juga: Lockdown Ketiga Inggris Berlaku Hingga Maret 2021 Mendatang

Secara size, bank hasil merger tersebut diperkirakan akan menjadi bank syariah terbesar di Indonesia.

Selain itu, dengan keunggulan yang berbeda pada masing-masing bank syariah yang menggabungkan diri tersebut, bank hasil penggabungan diharapkan akan memiliki produk yang lengkap dan beragam.

Lebih jauh, size bank yang besar akan memungkinkan terciptanya efisiensi dalam penghimpunan dana serta menekan cost of fund.

Baca Juga: Putri Kerajaan Saudi, Jauhara Berminat Melakukan Hubungan Usaha

Konsolidasi Perbangkan ke Depan

Hingga saat ini, terlihat bahwa konsolidasi perbankan masih menjadi sesuatu untuk terus diupayakan.

Bahwa tahun 2020 proses konsolidasi semakin marak tentu menjadi patut disyukuri, apakah hal ini akan terus berlanjut di tahun 2021 tentunya hal tersebut masih perlu untuk kita  lihat bersama.

Ke depan, regulator juga perlu memikirkan skema apa yang tepat untuk konsolidasi di bank-bank milik pemerintah daerah (BPD), karena beberapa diantara BPD tersebut saat ini belum memenuhi persyaratan modal inti.

Baca Juga: Berita Transfer, Andrea Pirlo Membidik Olivier Giroud, Arsenal Tawarkan Ozil

Selanjutnya yang penting juga untuk kita cermati adalah Enforcement dari OJK terhadap pemenuhan modal inti minimal Bank umum sebesar Rp3 Trilyun pada akhir 2022 tersebut, karena hal itu merupakan salah satu hal konkrit dalam mewujudkan misi konsolidasi perbankan.

Selain tentu saja, dampak dari proses konsolidasi yang perlu menjadi perhatian OJK, yaitu terbentuknya ‘konglomerasi-konglomerasi baru’.

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.

Baca Juga: 27 Ribu Bidang Tanah di Kabupaten Karawang Sudah Kantongi Sertifikat

(Herriman Budi Subangun - Analis Senior, Departemen Pengelolaan Moneter, Bank Indonesia)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler