Pertunjukan Kini: Antara Bau Kemenyan dan Alkohol

- 8 November 2020, 11:48 WIB
SUASANA diatas panggung salah satu pertunjukan tari topeng di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon beberapa waktu lalu tampak warga ikut berjoged diantara selingan pertunjukan tari topeng.
SUASANA diatas panggung salah satu pertunjukan tari topeng di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon beberapa waktu lalu tampak warga ikut berjoged diantara selingan pertunjukan tari topeng. /Dok. Toto Amsar Suanda/

Tari topeng Pamindo yang tadi dihentikan bodor itu kemudian dilanjutkan kembali. Suasana pertunjukan pun berubah. Panggung tak lagi sesak karena yang menari hanyalah seorang dalang. Perhatian menjadi terfokus kepada gerakan-gerakan dalang itu. Akan tetapi, ketika tari itu sudah berjalan beberapa lama, bodor kembali menghentikannya. Ia kemudian kembali memberikan waktu itu kepada grup dangdut. Beberapa lagu dinyanyikan, dan para penjoged kembali ke atas panggung. Demikian seterusnya sampai tari topeng Pamindo selesai.

Baca Juga: Pilkada 2020 Kabupaten Cianjur, Herman Suherman - Tb. Mulyana Syahrudin Menang Telak

Para penjoged tidak saja anak-anak muda, akan tetapi juga orang tua, pria-wanita. Demikian pula pemangku hajat dan panitianya tak ketinggalan ikut berjoged. Tentu saja mereka pun memberi imbalan kepada penyanyi dengan sukarela.

Uang yang didapat penyanyi itu tidak saja hasil dari pemberian para penjoged akan tetapi juga dari para peminta lagu. Uang tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat khusus, dan setelah selesai pertunjukan dihitung. Hasilnya kemudian dibagi: 60% untuk grup penyanyi dangdut, dan 40% untuk grup topeng. Jumlah untuk masing-masing tergantung dari pendapatan. Sebagai salah satu contoh panggungan topeng  grup Adiningrum tanggal 21 Agustus 2008 di desa Geyongan-Arjawinangun-Cirebon, terkumpul uang sejumlah  Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Grup dangdut kebagian Rp. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) dan grup topeng Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah). Uang tersebut biasanya dibagi rata sesuai dengan jumlah personal masing-masing grup.

Ketika dangdutan dimulai, dan apabila para peminta lagu serta penjoged banyak, tari topeng bisa tidak ditarikan semuanya. Topeng seperti menjadi tak penting lagi kehadirannya karena pertunjukan akhirnya didominasi dangdutan. Dengan demikian maka tari topeng seperti kehilangan kharismanya dan kehilangan aura mistisnya. Tari topeng hanya ditarikan lagi ketika hari menjelang sore, saat pertunjukan akan selesai. Klana dijadikan tari penutup pertunjukan itu.

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Bandung, Hanya Mandalajati dan Bandung Wetan Masih Nilil Kematian

Demikian situasi pertunjukan topeng Cirebon saat ini. Tentu saja situasinya tidak bisa digeneralisasi seperti demikian, karena walaupun beberapa grup topeng menyertakan dangdutan dalam pertunjukannya, namun tetap bisa menyajikan tari-tariannya.

Dangdutan sebaiknya hanyalah sebagai selingan dan bukan dominan. Sebagian dari grup topeng memang ada yang seperti digambarkan di atas. Akan tetapi tentu saja mereka mempunyai alasan tertentu, mengapa melakukan pertunjukan topeng itu seperti demikian. Salah satunya dikemukakan oleh Kasniri dalang topeng asal Kalianyar-Cirebon: “Daripada ora mangan, ya layani mawon.” (Layani saja, daripada tidak makan). Demikian pula dalang topeng Keni dari Slangit beralasan: daripada topeng tidak ada lagi yang nanggap maka warisan leluhur itu akan cepat punah. Suatu alasan yang juga masuk akal.(Toto Amsar Suanda : Pemerhati Seni Budaya Tradisi Jawa Barat)***

Halaman:

Editor: Heriyanto Retno


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah