Sungapan di Pasir Ipis Jayagiri, Lembang

18 Oktober 2020, 22:33 WIB
SEJUMLAH warga RW 06 Kampung Pasir Ipis Ds. Jayagiri Kec. Lembang membersihkan bak penampungan air peninggalan pasukan Belanda saat digelar tradisi Sungapan .*** /Heriyanto Retno

PORTAL BANDUNG TIMUR.-

Terakhirkali, Gunung Tangkuban Parahu mengalami erupsi pada Jumat 26 Juli 2019 pukul 15.48 WIB dengan menyemburkan abu setinggi 200 meter di atas puncak, serta material dingin.

Bahkan sesekali getaran dirasakan oleh masyarakat Kampung Pasir Ipis Desa Jayagiri Kec. Lambang Kab. Bandung Barat yang lokasinya tepat di punggung gunung yang letaknya hanya sekitar 5 kilometer.

Namun warga meras yakin kalaupun terjadi letusan. Lava atau lahar dingin maupun panas akan tumpah ke Subang bukan ke Kab. Bandung Barat. Tapi tetap saja warga Jayagiri harus tetap mewaspadai awan panas ataupun debu.

Baca Juga: Motorcross Rusak Rumput Jayagiri?

Selain itu, hal yang paling dikhawatirkan warga Jayagiri dan sekitarnya di Kecamatan Lembang adalah surutnya mata air.

“Iyah, setiap Tangkuban Perahu aktif (erupsi) pasti sumber air atau mata air mengecil airnya dan bahkan tidak keluar sama sekali, karenanya setiap Tangkuban Perahu aktif kami melakukan tradisi Miara Sunggapan atau Tradisi Babakti Sungapan (mata air),” terang Ustad Nana (68) tokoh masyarakat Kampung Pasir Ipis, Desa Jayagiri Kec. Lembang Kab. Bandung Barat.

Berdasarkan pengalaman hidupnya dan cerita turun temurun kakek buyutnya, Tangkuban Perahu mengalami erupsi antara bulan Juli hingga Oktober. Seperti yangterjadi  pada tahun 2013, 2017, 2018 dan terakhir 2019.

Baca Juga: Bandel!!! Warga Cuek Tidak Bermasker

Akibat Tangkuban Perahu aktif mata air mengalami kekeringan dan  warga harus membeli air, seperti yang terjadi tahun 2019 lalu.

“Sejak masa kakek nenek kami, antara bulan Juli hingga Oktober merupakan musim kemarau hingga di gunung tidak ada air dan Tangkuban Parahu hanya berupa gas asap putih yang saat ini dikatakan erupsi,” ujar Ustad Nana.

Ketergantungan warga Pasir Ipis Jayagiri pada air dari Gunung Tangkuban Parahu sudah dirasakan sejak dulu. Bahkan antara tahun 1891 hingga 1930 saat Belanda membangun benteng pertahanan di Pasir Ipis dan Ciputri, juga bersamaan dengan pembangunan tanggul penampungan.

Baca Juga: Banjir Bandang, Citepus Meluap

“Pada masa itu, air sangat berarti sekali, karena saat sejumlah mata air dikuasai Belanda, Ki Asmita sesepuh kampung langsung datang ke Betawi (Jakarta) untuk meminta meminta bagian hingga keluar Besluit Tahun 1937 tentang pembagian jatah air untuk Desa Jayagiri,” terang Nana, yang mendapat cerita langsung dari Ki Asmita yang tiada lain kakeknya pelaku sejarah langsung.

Tradisi Babakti Cisungapan Pasir Ipis yang berlangsung sejak pukul 6.00 WIB menurut Kepala Desa Jayagiri, Cece Wahyudin sudah direncanakan sejak tahun 2013 saat Tangkuban Parahu meletus seperti yang terjadi pada Jumat 26 Juli 2019.

“Namun saat itu hanya dilaksanakan doa bersama disertai penanaman pohon yang juga dihadiri oleh Bupati Bandung Barat (Alm. Abu Bakar), dan dilaksanakan kembali tahun 2019 lalu setelah 20 tahun berhenti,” ujar Cece yang berharap Tradisi Babakti Sungapan mampu menggairahkan kembali menjaga lingkungan, khususnya sumber air agar peristiwa kelangkaan air pada tahun 2019 tidak kembali terulang.

Baca Juga: Hak Cipta Karya Foto

Sementara Tradisi Babakti Sungapan Pasir Ipis yang diselengarakan warga RW 06 Kampung Pasir Ipis Ds. Jayagiri Kec. Lembang  berlangsung sejak pukul 8.00 WIB.

Kaum laki-laki dewasa bergerombol menuju Sungapan (mata air) Pasir Ipis yang memancar dari dinding cadas punggung gunung Tangkuban Parahu sejauh 2 kilometer dari perkampungan.

Tanpa sedikitpun kata yang keluar, puluhan laki-laki warga Pasir Ipis terus berjalan menembus kabut yang masih menyelimuti. Sepanjang perjalanan, tanaman yang menghalangi jalan di potong dan ditancapkan, demikia pula saat tiba di bak penampungan pepohonan dirapikan dan lumpur tebal selama 20 tahun diangkat.

Baca Juga: Cimande Kembali Hitam Pekat

Kegiatan di sungapan hanya berlangsung selama 1 jam setelah itu turun kembali  menuju perkampungan. Namun didaerah agak lapang (camping ground) kaum ibu dan anak-anak menyambut dengan berbagai kesenian tradisional, setelah doa bersama dengan harapan air sungapan tetap mengalir ke Pasir Ipis, acara dipungkas murak timbel balakecrakan,berupa tradisi makan bersama. (heriyanto)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler