Re-BUNG

24 Oktober 2020, 19:47 WIB
Pameran seni rupa di Thee Huis Gallery Taman Budaya Jawa Barat yang bertajuk /May Lodra

 

PORTAL BANDUNG TIMUR - REBUNG adalah 'tunas' yang tumbuh dari akar bambu atau fase awaldari kehidupan tanaman bambu. Makna pepatah: ‘Melentur buluh biarlah dari rebungnya' yang menekankan pentingnya nilai pendidikan (karakter) dimulai sejak dini, tentu mudah dipahami. Perkara masih relevankah pepatah itu dalam konteks situasi kehidupan kita di masa kini? adalah soal lain lagi.

'Rebung' yang ditulis sedemikian rupa selaku tajuk pameran seni rupa ini, selain menyiratkan ajakan untuk memaknai kembali makna permanen rebung, dihasratkan pula menjadi metaphor. Rekayasa typografi ini selain mencipta diksi, menandai pula makna kata 'Bung'—sapaan populer dan khas di masa revolusi Indonesia, yang telah mengalami degradasi makna, bahkan memudar pesonanya di masa orde baru.

Bahwa frasa 'Bung' dianggap tak lagi cukup menyandang rasa hormat bagi para penguasa saat itu, bisa kita lacak melalui pernyataan keprihatinan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Dengan kata lain, tajuk pameran ini selain menjemput makna simbolik mengenai  'pertumbuhan', memaknai pula narasi yang hidup dalam kata 'bung', selaku semangat persaudaraan, kesetaraan dan solidaritas yang didasari sepenuhnya oleh empati.

Baca Juga: Tahun 2020 Kabupaten Bandung Canangkan Bersih Sampah

Makna ganda yang melekat pada tajuk pameran seni rupa ini pada dasarnya merupakan pijakan filosofis dalam meraih pertautan dengan upaya pembacaan perkembangan praktik seni sekaligus  merefleksikan pertimbangan dasar dalam membangun penampang pemahaman seni rupa Jawa Barat. Pameran seni rupa ini dalam praksisnya mengundang secara terbuka keterlibatan para perupa yang tinggal dan berkarya di kawasan Jawa Barat dengan batasan usia maksimal 45 tahun.

 Metoda 'open call' yang digunakan dalam pameran seni rupa ini, niscaya menyimpan sejumlah keterbatasan dan kelemahan terkait waktu, distorsi informasi dan data yang mungkin diserap oleh calon peserta. Namun, pilihan ini tergolong terbaik. Untuk ditempuh, mengingat pendekatan kurasi yang dilakukan melaluipengamatan langsung pada setiap daerah di wilayah provinsi Jawa Barat di masa pageblug menyandang resiko. 

Melalui pengamatan, kepekaan, ketelitian serta pertimbangan teamseleksi, yakni Bob Edrian, RE.Hartanto dan Erwin Windu Pranata, terpilih sejumlah karya dari para perupa  dari 15 wilayah kota dan kabupaten.

Baca Juga: Ternyata Ini, Penyebab Banjir Kawasan Cikadut

Pameran seni rupa dalam lingkup terbatas di kawasan Jawa Barat ini pada dasarnya merupakan semacam 'penyangga' kesinambungan dari Biennale seni rupa Jawa Barat yang kedua (BIJABA #2) yang akan berlangsung tahun depan. Eksistensinya, serupa dengan 'annual' dengan intensi yang bergerak lentur dan diharapkan mampu selaras dengan kehendak memperkuat 'tubuh' masyarakat dalam perspektif kebudayaan.

Pluralitas konteks dan intensi

Bahwa imajinasi merupakan kemampuan tertinggi manusia yang memungkinkan nalar bekerja, tentu saja bukan hanya klaim milik kaum romantik. Selaku kekuatan yang kerap dianggap berada di atas akal, peran imajinasi dalam proses kreatif menempati posisi khusus.

Demikian dengan karya-karya yang tampil dalam pameran seni rupa ini, memperlihatkan bagaimana peran imajinasi menjadi aspek yang menentukan. Secara keseluruhan, resepsi para perupa terhadap intensi  panggilan terbuka ini nampak berpijak dalam koridor 'pertumbuhan'.

Baca Juga: Memasuki Musim Penghujan, Kabupaten Bandung Rawan Bencana

Meski gagasan yang mendasari karya-karya para perupa nampak beragam: sebagian bertolak dari persentuhan dan keintiman terhadap kehidupan sehari-hari (tradisi mimesis), sebagian lain nampak mendorong pada kecenderungan eksplorasi material, kekayaan tradisi dan juga gagasan yang berpijak pada cara kerja inter imajerial. dan intertekstual.

Di antara ungkapan bersifat representasional dan non represetasional itu nyaris sulit ditemukan gagasan yang secara eksplisit bertolak berdasar respon mendalam terhadap narasi yang hidup dalam frasa 'Bung'.

Namun demikian, kelangkaan ini tentu saja nampak terjawab melalui Identifikasi perkara nasionalisme Indonesia di masa kini, tentu tidak cukuphanya dengan merasionalisasikan masalah integritas itu di luar ke-mistis-an makna persatuan  secara empiris.

Baca Juga: Hari Ini! Ada ‘Re-Bung’ Di Thee Huis Gallery Taman Budaya Jawa Barat

Ketidakberdayaan dalam  menghadapi fenomena perpecahan dan integrasi bangsa (konflik antar etnik, antar agama) semenjak 1997 misalnya, nyata berakar pada perkara lumpuhnya rasa saling percaya antar etnik dan antar agama.

Arus globalisasi yang tidak terelakan, tentu menuntut pula konfigurasi sikap kritis, mengingat di dalamnya berkelindan 'info sphere' yang mendorong keterbukaan ekonomi global, dan 'moral sphere' mendorong perubahan nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Dalam konteks ini, khasanah seni rupa Indonesia juga tak luput dari arus penyerapan  serta gelombang komodifikasi estetik global. Kehadiran karya-karya dalam pameran seni rupa ini pada dasarnya merupakan 'peta kecil' yang membantu kita meneropong kecenderungan praktik, gagasan  dan basis pemikiran para perupa yang tinggal dan bekerja di kawasan Jawa Barat.

Baca Juga: Sosok Pria Terkaya di Asia, Mukesh Dhirubhai Ambani

Keragaman ungkapan ini pada dasarnya bukan sekadar kemajemukan gaya, melainkan perbedaan yang diwarnai pula oleh fragmentasi kebudayaan, segmentasi kelompok sosial yang melingkupi dan menyertainya.

Pluralitas konteks, teknik dan lokalitas pada karya-karya seni rupa ini menyiratkan kemajemukan sudut pandang yang berkaitan dengan suatu sistem sosial dan politik tertentu di dalam ruang kebudayaan yang berkaitan dengan tempat, dan waktu.

Alam selaku subyect matter yang menjadi titik tolak dan pusat konsentrasi tematik yang dieksplorasi sedemikian rupa, misalnya, selain hadir membawa kebenaran eksistensial, keunikan cara pandang, kepekaan penghayatan, eksplorasi atas material dan teknik, juga hadir selaku citraan yang membebaskan diri dari beban mimesis.

Baca Juga: Proses Pembuatan Aplikasi Yang Kita Gunakan Sehari-hari

Sebagian lainnya, nampak menggali kompleksitas dunia manusia melalui berbagai pendekatan ekspresi figuratif dan simbolik. Dalam karya-karya tersebut, makna 'tubuh' dan nilai-nilai kemanusian menjadi intensi yang mengarahkan dan mempengaruhi pilihan idiom dan bentuk represntasi.

Pluralitas konteks dan intensi dalam karya-karya para perupa dalam pameran 'Re-Bung!' dalam banyak aspeknya memperlihatkan semacam penampang pemahaman yang memungkinkan kita melihat grafik tentang  'pertumbuhan' praktik para perupa dalam lingkup terbatas di Jawa barat. Dari sisi konteks dan intensinya, nampak bahwa keragaman itu tak lepas dari tujuan reflektif.

Menguatnya kesadaran mengenai gagasan yang berakar pada bentuk pengalaman yang intens dan koheren, keterpautan antara pluralitas budaya dan denyut kehidupan sehari-hari, tentunya selain nampak mengembalikan seni pada kenyataan realnya, juga memperlihatkan bahwa modalitas seni rupa senantiasa berubah terus sehingga pengalaman estetik itu sungguh bersifat paradigmatik terhadap seluruh pengalaman kita sehari-hari.

Baca Juga: Timnas U-19 Sepadan Jajaran Elit Asia

Upaya merumuskan nilai-nilai kemanusiaan itu muncul pula melaluipergumulan emosi yang mengarah pada pendekatan ekspresionis dan abstraksi. Intensi lain yang juga bergerak diantara kejelian pengamatan atas gejala dan empati terhadap lingkungan serta transformasi nilai local adalah gagasan yang berpijak pada pentingnya upaya konfigurasi.

Di luar kecenderungan manifestasi kerja dua dimensional, hadir pula karya terkait aksi performative, objek dan juga video performance.Konsep objektivikasi universalitas dan kemutlakan yang disakralkan modernism, kini kian memudar dan semakin sulit dipertahankan dalam batasan-batasan konvensionalnya.

Kesalingterhubungan, kesalingtergantungan  di dalam dunia tanpa batas yang dimungkinkan oleh globalisasi, tentu menciptakan pula keambiguan, ketakstrukturan,dan ketidakpastian yang kerap dimaknai sebagai keberagaman eksistensial, lepas dari pencarian esensi makna kehidupan.

Baca Juga: Hal Yang Perlu Diketahui Tentang Surat Kuasa

Satu hal yang mesti terus disadari di balik relativitas nilai, tidak berarti bahwa setiap proses penciptaan dipahami selaku hasrat diri yang selalu rindu pada keganjilan, keunikan dan perbedaan yang niscaya memberi peluang bagi bermacam argumentasi, heterogenisasi dan desentralisasi.

Akhir kata, kesungguhan para perupa yang tercermin melalui karya-karyanya, keterbukaan dan kesediaan museum Basoeki Abdullah untuk berperanserta di tengah perhelatan ini merupakan konstribusi berarti bagi eksplorasi kehidupan batin dan pengembangan apresiasi seni rupa yang lebih baik bagi masyarakat.(Diyanto/Kurator Thee Huis Galery Taman Budaya)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler