Topeng Panji; Dialog Selendang dan Pinggang

11 November 2020, 09:30 WIB
POSISI penari topeng saat memainkan selendang yang dalam sebuah tarian topeng memiliki banyak makna simbolis. /Heriyanto Retno/

PORTAL BANDUNG TIMUR - Dalam tari Jawa, Sunda dan Bali, selendang atau soder, sampur, adalah bagian kostum yang punya peranan cukup penting. Cara menggerakkannya juga bermacam-macam, ada yang di-seblak, ditendang, di-kepret, dibanting, dan sebagainya.

Selain difungsikan sebagai variasi gerak atau hiasan gerak, juga mempunyai makna simbolis. Dalam tayuban misalnya, selendang mempunyai makna sampurnakno uripmu, (sempurnakan hidupmu).

Dalam tayuban, kesempurnaan hidup itu dilambangkan dengan sampur. Karena itu wajar bila ada yang mengira kata tayub itu berasal dari bahasa Arab ta’assub, yang berarti tidak menerima ajakan dan pengaruh apapun yang tidak sesuai dengan pendiriannya.

Baca Juga: Cidadap dan Bandung Wetan Nol Kasus, Bandung Kulon Masih Tetap Tertinggi

Baca Juga: Segera Lengkapi Data , 40 Ribu Calon Penerima Apresiasi Pelaku Budaya

Perhatikan kembali tari topeng Panji. Penari itu berkali-kali ngibaskan selendang (seblak soder) yang berjuntai di kedua samping pinggangnya. Gerakan ini adalah gerakan yang paling awal setelah penari berdiri.

Seterusnya gerakan tersebut menjadi gerakan transisi untuk mengalihkan gerakan yang satu ke gerakan lainnya. Kibasan selendang itu kadang-kadang hanya sebelah-sebelah, kadang-kadang kedua-duanya secara bersamaan.

Suatu saat selendang itu bahkan dibuangnya ke belakang. Dalam tari yang lainnya Pamindo misalnya, selendang itu ditendangnya, terbang melayang, kemudian jatuh lagi dan kembali ke tempat asal ia berjuntai.

Baca Juga: Januari hingga September 2020 Perdagangan Indonesia Mencapai US$13,5 Miliar.

Baca Juga: Tema Sentral Pilkada Serentak 2020 Mengangkat Masalah Riil

Sesekali ia lempar ke atas, ujungnya dipegang tangan kiri, pangkalnya dipegang tangan kanan. Kemudian dilemparkan ke arah samping, melayang sebentar dan jatuh lagu ke tempat asal ia berjuntai.

Pinggang dan selendang, seperti tengah berdialog, untuk kemudian diam kembali. Pinggang (P) bertanya kepada Selendang (S):

                P :  Mengapa kau melintang?

                S :  Karena di pinggang

                P :  Mengapa kau tak riang?

                S :  Karena dikekang

P :  Mengapa kaudipegang?

S :  Karena mengambang

                P :  Mengapa kauterbang?

                S :  Karena ditendang

                P :  Mengapa kaumelayang?

                S :  Karena Yang Maha Terang

Mereka berdua terdiam untuk beberapa lama, dan pinggang melepaskan selendangnya. Ia melipatnya, kemudian selendang disimpan di lemari, tak berdaya. Lama tak berdialog, mereka kangen juga. Akhirnya pinggang menghampiri selendang yang tersimpan di lemari. Terjadi lagi dialog.

                P :  Mengapa kau di lemari?

                S :  Karena kau tak menari

                P :  Mengapa kau tak berseri?

                S :  Karena lemari terkunci

                P :  Mengapa kau mati?

                S :  Karena Yang Maha Widi

 

Alegori dari soder (selendang) yang melintang di pinggang penari adalah segudang perasaan hati manusia. Kalaupun ia dibuang dan ditendang ia kembali lagi ke tempat asalnya, ia tak hilang. Demikian perasaan hati kita ketika ada keinginan-keinginan untuk membuang hasrat dan nafsu keduniawian.

Baca Juga: Enam Tokoh Nasional Jadi Pahlawan Nasional

Baca Juga: Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kondang Majalaya

Perasaan itu hanya terbuang sementara untuk selanjutnya tetap menempel dalam diri dan hati kita. Namun usaha untuk membuang berbagai keinginan yang kurang baik dan berbagai perasaan itu adalah upaya manusia untuk menghindar dari hal-hal yang tak diharapkan.

Oleh karena itu pula mengapa ketika selendang dilipat dan disimpan di lemari, memori penari atasnya tetap menempel. Perasaan dan keinginan itu tidak hilang. Selendang di lemari adalah memori penari, yakni memori manusia yang tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari perasaan-perasaan keduniawian.

Upaya menghindarkannya yang divisualisasikan dengan bermacam-macam gerakan soder (seblak, sepak, kepret, tajong) adalah upaya untuk menjaga diri agar senantiasa berada pada keadaan bersih hati.

Baca Juga: Ereveld Pandu Makam Anak-anak Korban Peperangan

Baca Juga: Tim Advokasi Bedas Laporkan Dugaan Pelanggaran Pidana Pemilu ke Bawaslu

Gerakan-gerakan soder memang menghadirkan daya pukau indrawi dan daripadanya kejutan-kejutan gerak itu serangkali lahir. Keindahan duniawi adalah keindahan yang dicerap indrawi, mata lahir, sedangkan keindahan ilahi dicerap dengan mata hati (batin). Abdul Hadi MW menyebut dua keindahan ini dengan jamal dan husn berdasrkan al-Qur’an dan hadis.

Di antara hadis yang mengandung dua istilah tersebut ialah hadis yang menyatakan bahwa keindahan batin (jamal) bersifat universal dan memperkaya rohani, karena di dalamnya terdapat hikmah dan jalan menuju Tauhid. Sedangkan keindahan zahir (husn) tidak jarang hanya memukau (sihr).

Orang yang tak berpengetahuan dan tidak memiliki penglihatan batin sering terperdaya oleh yang tampak indah dalam pandangan mata, tetapi orang arif dapat menembus ke sebalik keindahan zahir sehingga dapat melihat yang hakiki.

Baca Juga: Total dana hibah Rp 3,3 triliun Untuk Pelaku Industri Hotel dan Restoran

Baca Juga: Mendikbud Apresiasi Pegiat Budaya Yang Tetap Berkarya di Tengah Pandemi

Tidakkah gerakan-gerakan selendang mengandung kedua hal tersebut? Bukankah selendang itu simbol dari berbagai keinginan dan berbagai perasaan manusia, baik ataupun jelek?

Bukankah gerakan-gerakan soder itu adalah simbol atas mati tidaknya berbagai perasaan dan keinginan itu? Perasaan dan pikiran baik haruslah tersimpan pada tempatnya, hati dan pikiran. Biarkan dia ’menggantung’ atau ’berjuntai’ pada tempatnya seperti soder.

Kekanglah dia. Di lain sisi, buanglah pikiran dan perasaan jelek itu. Tendang dan seblakan ia setiap saat, agar hati dan pikiran terhindar dari nafsu dan perasaan yang merusak.

Baca Juga: Pelaku Industri Film Nasional Tabuh Genderang Perang Melawan Pembajakan

Baca Juga: Kopi di Bengkulu Mampu Bersaing

Soder yang menggantung di pinggang dan soder yang dilipat berada di lemari itu adalah simbol ketidakberdayaan manusia di hadapan-Nya. ”Allahu somad.” Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Ini adalah surat al-Ikhlas ayat dua dalam al-Qur’an. Tamat 

(Toto Amsar Suanda/Pemerhati Seni Budaya Tradisi)***

Editor: Heriyanto Retno

Tags

Terkini

Terpopuler